kalsel.bawaslu.go.id, Banjarmasin – Pilkada serentak dilakukan secara bertahap sampai dengan pelaksanaan pilkada serentak secara nasional tahun 2027.Pelaksanaan pilkada serentak secara bertahap tersebut dilakukan sebagai upaya rekayasa penyamaan masa jabatan kepala daerah, hal ini diperlukan karena terdapat disparitas rentang waktu yang cukup tajam di antara 523 daerah provinsi, kabupaten, dan kota yang akan menyelenggarakan Pilkada di masa yang akan datang.
Pilkada serentak gelombang I (pertama) telah bergulir pada Desember 2015 dengan baik walaupun masih terdapat permasalahan dalam penyelenggaraan dan perselisihan. Untuk itu, perlu dilakukan penyempurnaan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2015. meliputi mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi, Kajian lebih lanjut terhadap rumusan “Petahana” (istilah petahana ditemukan dalam UU No. 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf dan Pasal 71 akan tetapi, konsepsi petahana ditemukan dalam Surat Edaran KPU 305 Tahun 2015), Kajian lebih lanjut dalam rangka menyikapi munculnya calon tunggal, Penegasan waktu pelantikan KDH dan Wakil KDH terpilih, Pemberian sanksi pidana bagi para pelaku politik uang (money politic) yang melibatkan Pasangan calon, Tim Sukses dan Penyelenggara Pilkada, Penyederhanaan penyelesaian sengketa proses pada setiap tahapan Pilkada, Penyelenggaraan pilkada dengan penggunaan e-voting dan Menata penanganan kepesertaan partai politik dalam pilkada jika terjadi sengketa kepengurusan partai politik.
Jum’at, (27/5) bertempat di gedung Sasangga Banua, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Kalimantan Selatan Mahyuni bersama Ichsan Anwary (Pakar Hukum Tata Negara), H.Sarmuji (Komisioner KPU Kalsel) dan Ani Cahyadi Maseri (Pengamat Sosial Politik) menjadi narasumber pada kegiatan “KAHMI Forum” dengan tema “Meluruskan Hajatan Demokrasi dalam Revisi Undang-Undang Pilkada” yang diadakan oleh KAHMI (Korps Alumni HMI) Kota Banjarmasin.
Ani Cahyadi Maseri sebagai pengamat Sosial Politik melihat bahwa berjalan baik dan tidaknya Demokrasi di Indonesia dipengaruhi 3 (tiga) hal, diantaranya adalah politik. Namun menurutnya, Partai Politik, sebagai atribut penting dalam sebuah Negara, tidak menjalankan fungsinya secara baik. Political education atau pendidikan politik yang seharusnya diberikan oleh partai politik tidak jalan. Sehingga ada kencedrungan terjadinya pembodohan-pembodohan terhadap masyarakat awam. Kecerdasan masyarakat, menurutnya, akan berjalan seiring dan seimbang dengan kecerdasan pada pemilihan saat pilkada. Selain itu partai politik, kritiknya, tidak memiliki sistem pengkaderan yang bagus, sehingga tidak mengukur kualitas kader-kader yang potensial, tetapi justru mengutamakan yang punya banyak modal.
Ini juga diamini oleh Ichsan Anwary sebagai Pakar Hukum Tata Negara. Dia mengatakan bahwa Undang-Undang Pilkada jangan menjadi bahan main-main atau bongkar pasang para stakeholder yang cendrung hanya untuk kepentingan golongan dan kelompok tertentu. Tidak jauh berbeda apa yang disampaikan Mahyuni dan H. Sarmuji sebagai tokoh yang berada pada posisi penyelengara Negara. Mereka berharap revisi Undang-Undang Pilkada ini betul-betul mampu memberikan solusi yang terbaik untuk perbaikan daerah dan bangsa kita. Sudah saatnya, menurut mereka, KAHMI dan HMI sebagai kumpulan orang terpelajar mengambil bagian dalam segala bentuk sektor untuk terus berupaya memberikan pikiran dan tenaga demi perbaikan Negara.
Penulis : Subhani
Foto : Fotografer Kahmi