Strategi Pengawas Pemilu dalam Menangani Tindak Pidana Pemilu:

Implementasi Hukum Progresif dan Penerapan Pasal 55 KUHP dalam PenangaNan Perkara Pidana di Kalimantan Selatan

Oleh: Azhar Ridhanie

Azhar Ridhanie

Azhar Ridhanie

Penulis adalah Anggota Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan yang menjabat sebagai Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran

Pemilihan Umum adalah proses suksesi kepemimpinan sebagai wujud tumbuhnya demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dengan adanya UU No. 7 Tahun 2017 tersebut dimaksudkan untuk mengawal proses demokrasi tersebut berlangsung secara jujur (fair play), tertib, dan aman sehingga menciptakan Pemilihan Umum yang berintegritas (integrity electorale) oleh karenanya penegakan hukum (law enforcement) dalam setiap terjadinya tindak pidana pemilu adalah merupakan keniscayaan untuk mewujudkan pemilihan umum tahun 2019 subtansial dan berintegritas.

Proses pengawalan demokrasi tidak terlepas dari peran serta rakyat dalam menentukan sikap untuk memilih pemimpin yang berkualitas melalui mekanisme pemilihan Umum yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan pemilu yang secara jelas melindungi segenap hak konstitusional warga negaranya untuk menentukan pilihannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Makna dari ‘kedaulatan berada di tangan rakyat’ yaitu bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerinatahan pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui pemilu sebagai sarana bagi rakyat, untuk memilih pemimpin melalui pemilihan Presiden dan wakil presiden yang dipilih dalam satu pasangan secara langsung serta memilih wakilnya.

Namun yang tidak dapat dihindari dalam mengimplementasikan kedaulatan Rakyat adalah terdistorsinya kedaulatan rakyat dengan banyaknya pelanggaran pemilu yang dilakukan pihak-pihak baik itu peserta, penyelenggara maupun pemilih sehingga integritas pemilu terciderai dengan adanya pelanggaran tersebut. Maka penegakan hukum adalah jalan yang terbaik dalam meneguhkan kedaulatan rakyat ,karena Kedaulatan yang telah di terapkan warga negara dalam bentuk Pemilu menimbulkan efek yang lurus dengan kebaikan dalam menetukan masa depan rakyat Indonesia, jika pemilu dilaksanakan secara berintegritas, dan pelaksanaan pemilu yang berintegritas tidak terlepas dari proses demokrasi yang jujur dan berkeadilan, oleh sebab itu Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara Hukum (rechstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat) yang lebih mengutamakan kejujuran dan keadilan hukum, meskipun masih banyak dari warga negara yang belum memiliki akses terhadap keadilan (access to justice).

Agar penegakan hukum berjalan dengan efektif dan ideal maka diperlukan kerangka hukum dan kepatuhan hukum yang, keranggka hukum tidak dapat berjalan dengan baik tanpa kepatuhan hukum, yang oleh karena itu kedua instrumen tersebut baik kerangka hukum maupun kepatuhan hukum harus selaras berjalan seimbang agar terciptanya pemilu yang demokratis.

Kerangka Hukum pemilu menjadi salah satu indikator yang sangat penting, istilah “kerangka hukum pemilu” mengacu pada semua Undang-undang dan dokumen hukum yang terkait dengan pemilu. Dalam rezim negara demokratis dan konstitusional, kerangka hukum pemilu ini diatur dalam aturan yang cukup beragam, berasal dari norma dasar seperti konstitusi dan aturan hukum lainnya. Beberapa ketentuan yang mendasari adalah konstitusi, perjanjian internasional, undang-undang pemilu, yurisprudensi, peraturan kode etik dan peraturan terkait lainnya, kerangka hukum pemilu ini disusun dengan mempertimbangkan sejarah, kekhasan sosial, budaya dan aturan hukum yang berlaku di masing-masing negara.

Kerangka hukum ini harus disusun secara terstruktur dengan melingkupi beberapa prinsip yakni tidak bermakna ganda dan jelas (clear), memudahkan (straightforward), mudah dipahami (inteligible), dan melingkupi seluruh unsur sistem pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang demokratis (include all electoral components, which are necessary to unsure the undertahking of democratic elections).

Dalam konteks penyelenggara pemilu di Indonesia, pengaturan mengenai pemilu diatur mulai dari konstitusi (Undang-Undang Dasar), Undang-undang penyelenggara yang mengatur tiga unsur penyelenggara pemilu terdiri dari Bawaslu, KPU dan DKPP, serta Undang-undang penyelenggaraan yaitu Undang-undang pemilu legislatif, Undang-undang pemilu presiden dan wakil presiden dan Undang-undang pemilihan kepala Daerah, pemilihan Gubernur dan wakil gubernur, Bupati dan wakil Bupati, Walikota dan wakil Walikota. Apabila dilihat dari subtansi undang-undangnya masih terdapat beberapa permasalahan dalam kerangka hukum pemilu, misalnya pengaturan mengenai definisi kampanye yang belum jelas. Definisi kampanye berdasarkan pelaksanaan pemilu yang mana selama ini menimbulkan multi tafsir antara lembaga penyelenggara pemilu dengan pihak kepolisian dan kejaksaan dalam menegakkan tindak pidana pemilihan. Selain itu pengertian mengenai pelanggaran administrasi pemilu dan sengketa antar peserta pemilu juga tidak di jelaskan secara rinci. Hal ini dapat berdampak pada adanya pelanggaran administrasi, akan tetapi tidak dapat dijatuhkan sanksi dikarenakan tidak menjelaskan secara rinci mengenai pelanggaraan administrasi tersebut. Oleh karena itu ikhwal kepastian hukum adalah salah satu aspek utama dalam hukum. Kepastian hukum biasanya diartikan sebagai kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis.

Menurut Prof. Ramlan Surbakti, Phd, setidaknya terdapat dua indikator proses penyelenggaraan Pemilu yang demokratik: (a) adanya kepastian hukum dalam pengaturan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu (predictable procedure) tetapi hasil pemungutan dan penghitungan suara tidak ada yang tahu (unpredictable result), dan (b) semua tahapan penyelenggaraan pemilihan umum diatur berdasarkan asas-asas pemilihan umum yang demokratik, seperti langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan akuntabel. Yang dimaksud dengan kepastian hukum dalam pengaturan semua tahapan penyelenggaraan pemilu adalah undang-undang pemilihan umum (a) mengatur semua hal yang perlu diatur mengenai tahapan pemilu. (b) berisi pasal-pasal yang isinya konsisten satu sama lain, dan bahkan konsisten dengan pasal-pasal yang terkandung dalam undang-undang lainnya (c) berisi pasal-pasal yang artinya dipahami secara tunggal oleh semua pemangku kepentingan. Dalam rumusan secara negatif, yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah Undang- undang tentang pemilihan Umum tidak mengandung kekosongan hukum, tidak mengandung pasal-pasal yang bertentangan dengan satu sama lainnya dan tidak mengandung pasal- pasal yang multi tafsir.

Berbagai Permasalahan tersebut, memerlukan tindakan penyelesaiaan yang dapat dilakukan oleh otoritas pembentuk Undang-undang (DPR dan Pemerintah) melalui revisi perundang-undangan, atau melalui tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu Bawaslu atau KPU) melalui pembentukan peraturan teknis Penyelenggara Pemilu. Tindakan kedua dalam bentuk pembentukan peraturan teknis penyelenggaraan pemilu oleh KPU atau Bawaslu lebih mudah dilakukan, meskipun sangat beresiko tertentu. Tanpa adanya tindakan ini, maka dapat diprediksi penyelenggaraan pemilu di kemudian hari akan bermasalah. Meskipun setiap produk hukum yang dikeluarkan oleh penyelenggara pemilu harus terlebih dahulu di konsultasikan dengan DPR dan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-undang 15 tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilu, Pasal 119 ayat (4) untuk Komisi Pemilihan Umum dan pasal 120 ayat (4) untuk Bawaslu bahwa setiap peraturan yang di bentuk oleh kedua unsur penyelenggara tersebut penetapannya setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah, demikian pula dengan DKPP. Hal tersebut bisa saja menggangu sifat kemandirian unsur penyelenggara pemilu, tidak jarang sebuah aturan yang semestinya diatur segera ,karena waktu tahapan berjalan terhambat dengan molornya pembahasan di DPR dan Pemrintah, meskipun tidak terlalu mengancam karena DPR adalah lumbung asprasi masyarakat yang bersandar pada mekanisme konstituional dan berlandaskan pada UUD 1945. Tetapi paling tidak hal tersebut menjadi pola fikir bersama yang dapat di pahami oleh semua pihak agar bijak dalam penggunaan pasal tersebut.

Kerangka Hukum pemilu juga harus mencakup mekanisme yang efektif untuk memastikan berjalannya penegakan hukum pemilu dan penegakan hak-hak sipil, penegakan hak sipil dimaksud adalah untuk melindungi hak-hak warga negara untuk memilih dan dipilih, pada prinspnya, kerangka hukum harus menetapkan bahwa setiap pemilih, kandidat, dan partai politik berhak mengadu kepada lembaga penyelenggara pemilu atau pengadilan yang berwenang apabila terdapat dugaan pelanggaran dugaan pelanggaran pemilu atas hak pilih.

Untuk memastikan terjaminnya prinsip-prinsip penegakan hukum tersebut internasional IDEA mengajukan empat daftar periksa (check list) untuk menguji terhadap materi kerangka hukum yang akan mengatur penyelenggaraan pemilu yakni:

  1. ApakahPeraturan Perundang-undangan pemilu mengatur mekanisme penyelesaiaan hukum yang efektif untuk keperluan penegakan hukum pemilu?
  2. Apakah peraturan perundang-undangan pemilu secara jelas menyatakan siapa yang dapat mengajukan pengaduan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan pemilu? Apakah juga dijelaskan prosedur pengajuan pengaduan tersebut?
  3. Apakah peraturan perundang-undangan pemilu mengatur hak pengajuan banding atas keputusan lembaga penyelenggara pemilu ke pengadilan yang berwenang?
  4. Apakah Peraturan perundang-undangan pemilu mengatur batas waktu pengajuan, pemeriksaan, dan penentuan penyelesaian hukum atas pengaduan?

Apabila dilihat ketentuan mengenai penyelenggara pemilu di Indonesia dengan mengacu pada daftar periksa diatas, secara sekilas dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum pemilu di Indonesia sudah dapat menjamin pelaksanaan pemilu yang demokratis. Hal ini dapat dilihat dari adanya mekanisme yang mengatur penyelesaiaan hukum yaitu Bawaslu dan KPU untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi, kepolisian dan kejaksaan untuk menyelesaikan pelanggaran pidana serta bawaslu untuk menyelesaikan sengketa pemilu. Selain itu juga diatur mengenai pihak-pihak dapat melaporkan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu, hak untuk mengajukan banding atas keputusan yang dibuat oleh penyelenggara, serta batas waktu untuk melaporkan dan memproses pelanggaran.

Akan tetapi dalam prakteknya terdapat beberapa kendala dalam penegakan hukumnya. Sebagai contoh adalah jangka waktu untuk melaporkan pelanggaran yang sangat singkat, 7 (tujuh) hari sejak diketahui dan/atau ditemukannya. Selain itu waktu yang diberikan kepada Bawaslu untuk menindaklanjuti laporan juga sangat singkat yang berdampak pada kesulitan dalam pengumpulan alat bukti. Meskipun dalam Undang-undang 7 waktu penyelesaiaan untuk menangani pelanggaran 7+7 namun tidak selaras dengan waktu Penyelesaiaan dengan dengan Undang-undang Pilkada (Pemilihan Bupati, Walikota dan Gubernur) Masalah lain adalah tidak adanya wewenang Bawaslu untuk memanggil paksa para pihak yang diduga melakukan tindak pidana untuk dimintai keterangannya. Sehingga jika subjek berkehendak untuk melarikan diri dalam sutu pemeriksaan, maka tidak ada hal yang dapat diupayakan sehingga perkara tersebut dihentikan karena waktu habis dalam proses penanganannya, begitu juga dengan kendala lainnya yang hal tersebut terus berulang dalam pelaksanaannya. Perlu adanya terobosan hukum dari penegak hukum itu sendiri dalam menyelesaikan kasus baik administratif maupun pidana.

Strategi Pengawasan Pemilu

Mengawali dari sebuah penanganan pelanggaran pemilu adalah proses pengawasan yang dilaksanakan secara melekat oleh pengawas pemilu, karena pengawasan pemilu yang baik akan memproduksi kulitas hasil pengawasan yang baik. Hasil pengawasan yang baik akan dapat dijadikan temuan yang berkualitas temuan yang baik dan berkualitas akan mudah diproses dalam penanganan oleh pengawas pemilu sampai tahap pemeriksaan ke pengadilan. Sehingga jika hasil pengawasan ingin dijadikan temuan, maka pengawas pemilu harus melaksanakan standar operasional (SOP) Pengawasan secara Profesional, karena proses pengawasan tersebut adalah merupakan embrio dari kasus/ perkara yang akan ditangani oleh pengawas pemilu.

Pengawasan pemilu merupakan kegiatan mengamati, mengjkaji, memeriksa, dan menilai proses penyelenggaraan pemilu sesuai peraturan perundang-undangan. Peengertian pengawasan pemilu tersebut merupakan pengertian baku yang berlaku dalam mendefinisikan tugas pengawasan pemilu oleh pengawas pemilu, yang pada dasarnya mencakup 4 aspek penting:

  1. Mengamati; seluruh penyelenggaraan terhadap pemilu baik oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu, maupun pihak lain seperti pemerintah, media massa, dan lain-lain;
  2. Mengkaji; yakni kegiatan menganalisa kejadian-kejadian tertentu dalam proses penyelenggaraan pemilu yang patut diduga merupakan bentuk pelanggaran pemilu;
  3. Memeriksa; yakni kegiatan melihat dan mencermati bukti-bukti awal yang didapatkan terkait dengan dugaan pelanggaran yang terjadi, sebagai pendukung dalam proses pengkajian; dan
  4. Menilai; yakni kegiatan untuk menilai dan menyimpulkan hasil kegiatan pengawasan.

Pengawas pemilu dalam melaksanakan pengawasan dengan 2 dua strategi besar yaitu pencegahan dan penindakan. Pencegahan dilakukan dengan tindakan langkah-langkah dan upaya optimal mencegah secara dini terhadap potensi pelanggaran dan/atau indikasi awal pelanggaran sedangkan penindakan dilakukan dengan menindaklanjuti temuan dari pengawas pemilu, maupun laporan dari masyarakat kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan kajian dan rekomendasi kepada institusi terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam melakukan tidakan dan proses pencegahan tentu saja pengawas pemilu harus mepunyai strategi yang mumpuni guna menjamin terselenggaranya pemilu secara fair, jujur dan sesuai ketentuan peraturan, maka kegiatan pengawas pemilu menjadi suatu keharusan, yang digambarkan dengan kerja cerdas dan kerja tuntas pengawas pemilu dalam mencapai tujuan, meskipun dengan alasan subjektif Lembaga pengawas pemilu memiliki keterbatasan kewenangan, yakni hanya mengawasi tahapan, menerima dan meneruskan laporan tetapi tidak dapat menjatuhkan sanksi oleh karena itu harus ada pehaman yang bijak dalam melakukan kerja-kerja pengawasan secara operasional, hal ini disebut sebagai “politik pengawasan”.

Terminologi “Politik Pengawasan” relatif belum banyak didengar dalam perspektif pengawasan. Perspektif ini muncul sebagai upaya untuk memperkuat kualitas pemahaman akan kerja-kerja pengawasan dalam pemilu dan/atau pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Politik pengawasan menggambarkan tujuan, misi, serta orientasi yang dipergunakan dalam melakukan pengawasan pemilu sehingga kegiatan pengawasan lebih memiliki spirit dan karakter dari sekedar mengawasi tekhnis penyelnggaraan pemilu. Dengan demikian kegiatan pengawasan tidak hanya sebuah pekerjaan rutin untuk melihat dan menelisik dugaan pelanggaran semata, namun bertujuan untuk mendorong tercapainya nilai-nilai yang terkandung dalam misi dibentuknya norma perundang-undangan Pemilu. Dengan memiliki spirit dan karakter dalam pengawasan pemilu dalam pengawasan pemilu, maka pengawas pemilu tidak hanya menjadi “mesin” tanpa roh. Tetapi menjadi manusia pengawas, yang memiliki cita, rasa dan karsa untuk mewujudkan keadilan dalam pemilu melalui fungsi pengawasannya.

Disamping itu, “Politik pengawasan” juga merupakan cara pandang terhadap pelanggaran yang tidak hanya dilihat sebagai fakta yang berdiri sendiri sebagai sebuah realitas tunggal. Namun ia dapat beimplikasi terhadap berbagai aspek, dan berkorelasi langsung maupun tidak langsung terhadap terjadinya pelanggaran dalam bentuk atau jenis pelanggaran yang lainnya. Misalnya terjadi pelanggaran keterlambatan distribusi logistik kertas suara, tidak berhenti disitu, namun berimplikasi terhadap pelanggaran yang lainnya, yaitu hilangnya hak pilih, atau dalam perspektif yang lebih politis adalah terjadinya penurunan jumlah partisifasi pemilih. Keterlambatan distribusi logistik mungkin bisa saja diatasi dengan pemunduran waktu pengambilan suara, namun hal ini tidak serta merta akan membuat para pemilih besedia datang lagi ke TPS, karena waktu yang telah mereka alokasikan untuk mecoblos telah lewat sedangakan mereka punya kesibukan lain yang sangat produktif yang telah diagendakan, misalnya pekerjaan untuk mencari nafkah bagi keluarga mereka.

Contoh lainnya, pengawasan terhadap dana kampanye, tidak hanya dipahami sebagai kegiatan mengawasi untuk menemukan apakah terjadinya pelanggaran sesuai ketentuan perundang-undangan, namun juga diarahkan untuk mendorong terciptanya tujuan pengaturan dana kampanye yang meliputi (1) menciptakan same level playing field (ruang bertarung yang seimbang) antar peserta pemilu; (2) mencegah terjadinya intervensi penyumbang dana kampanye terhadap kebijakan calon terpilih; (3) Mencegah terjadinya praktik pencucian uang, dan lain sebagainya. Prinsif-prinsif tersebut tidak secara eksplisit tertulis dalam ketentuan peraturan perundang-undangan namun justru menjadi dasar munculnya norma peraturan. Politik Pengawasan yang dibangun melalui perspektif ini kan menjadikan proses pengawasan yang memiliki nilai yang lebih tinggi, karena pengawas pemilu tidak hanya menjadi “mesin pengawas” yang bekerja secara mekanis, namun memiliki roh dan ghiroh (tujuan, spirit) yang mampu menuntun pengawas pemilu untuk bekerja secara cerdas dan progresif.

Banyak contoh lainnya yang dapat ditampilkan, namun pada intinya, politik pengawasan merupakan “intuisi” yang mesti dimiliki oleh seorang pengawas untuk menganalisis terjadinya sebuah pelanggaran, agar kemudian dapat dilakukan penncegahan yang dipandang perlu terhadap potensi-potensi pelanggaran turunannya. Dalam cara pandang “politik pengawasan” tersebut. Maka kerja-kerja pengawasan dalam paradigm pencegahan pencegahan diharapkan lebih efektif, karena setiap pengawas mempunyai perspektif yang bukan hanya lebih luas, namun juga lebih dalam dan komprehensif.

Strategi Pencegahan Pelanggaran Pemilu

Deteksi dini terhadap potensi pelanggaran di setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, menjadi keharusan yang melekat pada setiap pengawas pemilu. Karena itu pemetaan potensi-potensi berbagai pelanggaran di setiap tahapan pilkada menjadi wajib hukumnya dalam perspektif pencegahan. Setidaknya terdapat dua hal penting dalam pencermatan terhadap tindak pencegahan, yaitu; pertama; pengawasan dalam bingkai pencegahan, pemahaman masyarakat akan potensi-potensi pelanggaran yang harus diantisifasi. Kedua; potensi pelanggaran, merujuk kepada pengalaman dan data-data penyelenggara pemilu/ pilkada masa lalu sebagai referensi.

Secara sosio-politis, masing-masing daerah mempunyai karakternya sendiri. Hal ini mempengaruhi varian-varian pola dan kecenderungan pelanggaran, baik modus-operandi maupun jenis pelanggarannya. Sebab itu pengenalan terhadap karakter sosial wilayah dan pembelajaran dari data-data temuan pelanggaran pemilu/pilkada sebelumnya menjadi penting sebagai referensi untuk memetakan pola dan trend pelanggaran di setiap tahapan.dalam upaya menemukenali terjadinya potensi-potensi pelanggaran di wilayah kerja masing-masing dapat dianalisis melalui dua aspek sebagai pertimbangan:

  1. Pola dan trend pelanggaran yang telah terjadi di pemilu dan/ pilkada sebelumnya, dan
  2. Aspek atau aktor pelaku: merujuk kepada pemangku kepentingan utama dalam pemilu/pilkada yaitu: (a) pemilih (masyarakat secara umum, kelompok kepentingan, birokrasi, dll); (b) Peserta Pemilu/pilkada; dan (c) Penyelenggara pemilu.

Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum memberikan tugas yang tidak ringan kepada Bawaslu, selain melakukan pencegahan Bawaslu juga dituntut untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu dan sengketa proses Pemilu. Dua aspek yang diamanahkan undang-undang tersebut diramu dalam definisi pengawasan Pemilu yaitu kegiatan pengamatan, pengkajian, pemeriksaan dan penilaian penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan Pasal 94 undang-undang 7 tahun 2017 menyatakan bahwa Tugas untuk melakukan pencegahan dilakukan dengan berbagai macam mekanisme, yaitu (1) mengindentifikasi dan memetakan potensi kerawanan serta pelanggaran Pemilu; (2) mengoordinasi, menyupervisi, ,membimbing, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan Pemilu; (3) berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait; dan (4) meningkatkan partisifasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu.

Dalam penjabarannya keempat proses pencehan tersebut dapat dijelasan sebagai berikut yaitu:

  1. Mengindentifikasi dan memetakan potensi kerawanan serta pelanggaran Pemilu. Sebelum melakukan pengawasan Pemilu, Bawaslu melakukan pengindentifikasian dan memetakan potensi kerawanan. Disini merupakan tantangan bagi Bawaslu bagaimana pengawas Pemilu lebih awal mengurai potensi kerawanan dan pelanggaran dalam setiap tahapan Pemilu, agar potensi tersebut dapat dicegah lebih awal oleh pengawas Pemilu. Jika sudah dilakukan upaya pencegahan, maka Bawaslu dapat segera melakukan penindakan yang dapat memberikan efek jera terhadap pelaku pelanggaran Pemilu, hal ini penting dilakukan agar Bawaslu mempunyai formulasi dan Teknik dalam melakukan tindakan pengawasan;
  2. Mengoordinasi, mensupervisi, membimbing, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan Pemilu. Tugas tersebut sangat penting dalam rangka memastikan bahwa pengawas Pemilu di semua tingkatan taat asas dan taat aturan dalan menjalankan tugas, sehingga setiap saat harus berkoordinasi antar pihak, serta harus melakukan pembinaan dan bimbingan kepada semua pihak yang tersandung perkara hukum Pemilu, dan terus memantau penyelenggaraan Pemilu serta melakukan evaluasi hasil pengawasan Pemilu;
  3. Berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait; berkoordinasi dengan pemerintah dalam hal memastikan netralitas aparatur sipil Negara (ASN), ASN tidak boleh ikut serta dalam setiap sosialisasi maupun kampanye peserta Pemilu, karena setiap aspek tahapan kampanye sangat rentan disusupi ASN yang ingin cari muka terhadap incumbent atau calon lain dengan harapan imbalan jabatan ketika terpilih nanti, maupun ASN yang bersangkutan ada hubungan kekerabatan dengan pasangan calon yang menjadi peserta Pemilu; dan
  4. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu. Dalam undang- undang Pemilu partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai macam cara seperti sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, serta survei atau jejak pendapat tentang Pemilu dan penghitungan cepat hasil Pemilu. Selain itu pula partisipasi masyarakat dalam kepengawasan bisa di praktekkan masyarakat dalam laporan pelanggaran Pemilu. Jadi, masyarakat bisa menyampaikan laporan langsung kepada pengawas Pemilu terdekat jika ada pelanggaran Pemilu. Semakin banyak laporan masyarakat berarti semakin baik pula tingkat partisipasi masyarakat dalam pengawasan partisipatif,yang artinya juga sosialisasi yang dilakukan Bawaslu bisa dikatakan sukses. Tetapi semakin sedikit laporan dari masyarakat yang diterima maka bisa dikatakan semakin buruk pula cara dan Teknik Bawaslu mendorong pengawasan partisipatif. Walaupun laporan masyarakat bukan satu-satunya indikator suksesnya pengawasan partisipatif tetapi sebagai Lembaga pengawas Pemilu Bawaslu satu-satu pintu masuk laporan, maka Bawaslu harus mempunyai strategi jitu dalam medorong pemilih untuk menyampaikan laporan jika terjadi pelanggaran atau kecurangan. Dalam konteks pengawasan partisipatif, Bawaslu seharusnya berupaya mendorong partisipasi masyarakat dengan berbagai macam agenda yang didesain sebagai penyulut semangat masyarakat dalam ikut serta untu melakukan pengawasan partisipatif, tujuannya utamanya adalah agar Bawaslu punya partner dalam bekerja, karena Bawaslu tidak bisa berperan sendiri dalam melakukan pengawasan.

Selain melakukan tugas pencegahan Bawaslu juga mempunyai tugas untuk melakukan tindakan Hukum Pemilu atau penanganan pelanggaran Hukum Pemilu, apabila pencegahan sudah dilakukan secara maksimal, maka jalan akhirnya adalah melakukan tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran. Pelanggaran tersebut dapat dijerat dalam bebrapa varian pelanggaran yaitu; pelanggaran administrasi Pemilu, pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, pelanggaran pidana Pemilu dan tindakan sengketa proses Pemilu. Empat jenis tindakan ini adalah bagian dari mahkota pengawas Pemilu. Undang-undang nomor 7 tahun 2017 telah memberikan peran dan fungsi yang jelas dan tegas kepada Bawaslu untuk menegakan hukum Pemilu. Tinggal bagaimana Bawaslu dan jajarannya dapat melaksanakan amanah tersebut. Kalau diibaratkan seperti sebuah pensil sebagai alat tulis, pensil tersebut sudah lancip dan siap dituliskan, tinggal bagaimana goresan tulisannya saja apakah sesuai dengan kaidah penulisan atau tidak. Begitu juga dengan pengawas Pemilu, dia sudah mempunyai segala komponen dalam hal pencegahan dan penindakan, tinggal apakah penyelenggara tersebut punya kapasitas dan keberanian atau tidak untuk melaksanakan tupoksinya, hal ini tergantung kepada penyelenggara Pemilunya apakah mempunyai kesiapan dalam menjalankan amanah undang-undang.

Masyarakat tentu sangat mengharapkan Bawaslu dapat menjadi vioner penyelenggaraan Pemilu yang berintegritas. Bawaslu adalah sebagai tulang punggung bagi pelaksanaan Pemilu yang demokratis, maka wajar ketika ada anggapan masyarakat, bahwa sukses atau tidaknya pelaksanaan Pemilu tergantung pada lembaga ini yang menjadi lini terdepan dalam mengawal wibawa dan integritas Pemilu. Karena ekspektasi masyarakat sangat tinggi terhadap Lembaga Bawaslu maka Bawaslu harus menjadikan ini sebagai bagian penting dalam melakukan perubahan mendasar pada Lembaga Bawaslu itu sendiri.

Perubahan mendasar tersebut ada pada system kepengawasan Bawaslu yang selama ini masih sangat lemah. Bawaslu sendiri harus mempunyai format baku dalam proses pengawasan Pemilu. Yaitu, Pertama, System monitoring dapat di bangun melalui pola pengawasan berstandar ganda dia sebagai pelaksana dan dia pula sebagai pengawas langsung. Misalnya proses pengawasan tahapan kampanye KPU peserta Pemilu berkewajiban untuk berkoordinasi dengan Bawaslu dalam pelaksanaan teknis kampanye. Pada saat tahapan dimuai maka kewajiban KPU dan pesrta yang berkoordinasi, peran aktif Bawaslu dalam berkoordinasi adalah pada saat menangani pelanggaran Pemilu yang dilakukan dengan cara penelusuran dan dalam melakukan klarifikasi jika pelanggaran terjadi.bagaimana cara melakukannya dengan cara membuat aturan Bersama, antara Bawaslu, KPU dan peserta Pemilu. Kedua, supervisi pembinaan yang lebih efektif, jika ada perkara-perkara besar seperti money politic, ataupun mahar politik yang dapat menimbulkan dampak diskualifikasi calon, maka secara berjenjang Bawaslu harus memberikan pembinaan maksimal, agar proses pengawasan dan penanganan pelanggaran dapat diselesaikan dengan baik. Supervisi dan pembinaan terebut dilakukan oleh para actor supervise dan Pembina yang mempunyai kapasitas, sehingga jika sangat diperlukan mereka bisa memberikan saran yang efektif dalam penanganan kasus tersebut. Ketiga, menyederhanakan mekanisme penanganan pelanggaran. Mulai dari pelaporan sampai pada pembuatan keputusan dan rekomendasi. Mekanisme penanganan pelanggaran tersebut dapat memudahkan para pelapor yang ingin menyampaikan laporannya sampai pada memudahkan para anggota pengawas yang menangani pelanggaran. Keempat, memperkuat kapasitas dan SDM pengawas Pemilu. Sebuah inisiatif untuk menguatkan peran Lembaga membutuhkan manajemen yang kuat pula, mulai dari jajaran tingkat pusat sampai pada level daerah, kurangi aksi menebar opini, tetapi lebih pada aksi menangani langsung pelanggaran yang terjadi meskipun tergolong berat, namun kalau kapasitas sudah memadai tidak sulit lagi untuk melakukannya. Kelima, Mempererat hubungan antar gerakan civil society dan gerakan pemantau Pemilu, Cukuplah sudah kekuatan Bawaslu untuk melakukan aksi pengawasannya, melalui penguatan regulasi Bawaslu untuk mampu bertindak dalam segala lini tahapan Pemilu, namun kekuatan Bawaslu akan tidak ada apa-apanya atau berjalan sendiri tanpa kekuatan sipil, karena pengawasan partisipatif lebih menekankan upaya mendorong keterlibatan masyarakat. Keterlibatan masyarakat sipil dan organisasi pemantau, ataupun organisasi masyarakat sipil yang berkomitmen untuk menegakkan demokrasi harus dilibatkan, jagan sampai mereka lebih dulu terjerumus ketangan elite politik yang pragmatis, sehingga daya dobrak Bawaslu akan diperlemah karena tidak ada lagi yag mendukung Bawaslu pada level pemantau Pemilu, karena pemantau Pemilu dapat hadir dari organisasi civil tersebut.

Maka Jargon “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakan Hukum Pemilu” adalah penyemangat yang sangat visible jika Bawaslu dalam konteks penegakan hukum Pemilu dapat melibatkan masyaraakat baik sebagai peserta yang terlibat dalam kegiatan- kegiatan Bawaslu maupun sebagai pelapor sebagai proses penegakan hukum Pemilu. Mari kita dorong bersama keterlibatan masyarakat dalam menegakkan hukum Pemilu, agar keadilan Pemilu yang menjadi cita-cita bersama dapat diwujudkan.

Sentra Gakumdu dan Penegakan Hukum Pidana Pemilu

Sejak dibentuknya Pengawas Pemilu Bedasarkan Undang-undang No 15 tahun Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu yang mana sebelumnya, terkait dengan penyelenggara pemilu diatur dengan undang-undang 22 tahun 2007. Dan sekarang lebih melalui Undang-undang 7 Tahun 2017 telah memberikan kekuatan lebih kepada pengawas pemilu untuk melakukan kerja-kerja pengawasannya. Berbagai macam bentuk pelanggaran pemilu telah ditangani dan ditindaklanjuti oleh pengawas pemilu, baik di tingkat Bawaslu, maupun di tingkat panwaslu di daerah. Bentuk pelanggaran Pemilu yang ditangani tersebut adalah berupa pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, dan tindak pidana pemilu. Belajar dari pengalaman penanganan pelanggaran tersebut, terdapat berbagai kendala dalam pengumpulan alat bukti dan pelimpahan perkara penanganan pelanggaran ke instansi yang berwenang.

Dalam penangan pelanggaran yang berupa tindak pidana pemilu terdapat hambatan yang diemban petugas pengawas pemilu sebagaimana sebelumnya dalam tulisan ini juga sudah dijelaskan. Hambatan tersebut yaitu adanya pembatasan jangka waktu penanganan pelanggaran tindak pidana pemilu, dengan keterbatasan jangka waktu tersebut menyulitkan Bawaslu untuk mengumpulkan alat bukti pada proses pengkajian penanganan tindak pidana, ketiadaan subjek dalam ketentuan pidana Pemilu, tidak adanya kewenangan pemanggilan paksa dalam suatu pemiriksaan, tidak adanya kewenangan menyita barang bukti yang ditemukan jika dalam proses pengawasan adanya tindakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) . Oleh karena itu penting kiranya peran tiga institusi sentra gakkumdu dalam mengoptimalkan keterbatasan peran dari pengawas pemilu. Kepolisian dan kejaksaan sedianya mem-backup pelaksanaan tugas pengawas pemilu.

Dalam mencari solusi alternatif terhadap problem yang di hadapi oleh pengawas pemilu, Tentu saja Bawaslu telah memperkasai adanya memorandum of understanding (MOU) antara Kepolisian, Kejaksaan dan Bawaslu dalam sistem sentra penegakan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu). Selain itu pula hal tersebut Sebagai tindak lanjut pasal 486 ayat satu (1) Undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu Legislatif yang mengatur “untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu, Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Repulik Indonesia membentuk Sentra Penegakan Hukum terpadu”. Namun yang menjadi kendala adalah belum terjadinya koordinasi yang memadai diantara pengawas pemilu, dan instansi penegakan hukum lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian, belum dapat diterapkannya pasal 486 secara komprehensif bilamana kita melihat praktek bergakumdu dilapangan pasal 486 ayat empat (4) menyatakan bahwa penyidik dan penutut umum menjalankan tugas secara penuh waktu dalam penanganan pelanggaran pemilu namun dalam perjalannnya tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Pasal 486 ayat lima (5) menyatakan bahwa penyidik dan dan penuntut Umum sebagaimana diperbantukan sementara dan tidak diberikan tugas lain dari instansi asalnya selama menjalankan tugas di gakumdu. Tentu saja ayat lima tersebut sangat mempertegas bahwa penyidik dan penuntuk diperbantukan di sekretariat gakumdu, namun nampaknya penyidik dan penuntut pun kekurangan SDM pada instansi mereka unntuk ditempatkan di sekretariat gakumdu.

Sebagaimana pasal 477 Undang-undang 7 tahun 2017 bahwa Penhyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan tindak pidana pemilu dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Oleh karena itu penting kiranya di bangun sebuah sistem yang terintegrasi sebagaimana pasal 477 tersebut, agar penanganan tidak pidana Pemilu bisa berjalan secara efekif dan efesien. Berkaca pada penyelesaian perkara menurut KUHAP yang menganut system yang disebut peradilan pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri atas persamaan persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan (Administration of criminal justice system) hal ini tentu saja memeberikan kemudahan bagi pengawas pemilu untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu, mulai dari tahapan laporan/ temuan dilanjutkan dengan proses pengkajian. Kegiatan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana terpadu menurut KUHAP, merupakan tahap awal dari proses penanganan perkara adalah penyidikan. Bila dilakukan penyelidikan ternyata terdapat cukup bukti bahwa seseorang diduga kuat telah melakukan tindak pidana, dilanjutkan dengan mengadakan penyidikan. Tindakan penyelidikan dan penyidikan oleh penyidik. Setelah penyidikan selesai, berkas perkara dikirim ke kejaksaan untuk dilakuakn penelitian berkas perkara yang dilakukan oleh jaksa/ penuntut umum.

Bila penuntut umum berpendapat berkas perkara telah memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan, berkas tersebut dinyatakan lengkap oleh penuntut umum. Setelah itu dibuat surat dakwaan dan selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan. Pada hari yang ditetapkan, dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan. Bila terdakwa terbukti bersalah telah melakaukan tindak pidana seperti yang disebutkan dalam surat dakwaan penuntut umum, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Pelaksanaan putusan pengadilan dalam hal pidana penjara dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan. Demikian secara singkat apa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana (Integrated Criminal Justice System). Tahap demi tahap yang dilakukan aparat penegak hukum.

Dalam penangan tindak pidana pemilu, sentra Penegakan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu) sebenarnya sudah memakai sistem terintegrasi. Namun dalam pelaksanaannya belum maksimal dan masih banyak perbedaan pandangan dan pemahaman terkait dengan standar operasional Sentra gakkumdu, meskipun hal tersebut dinilai wajar dalam penyelesaiaan tindak pidana, namun justru sangat menyulitkan bagi pengawas pemilu untuk lebih progresif dalam menyelesaikan tindak pidana pemilu. tentu saja harapan pengawas pemilu sama sebagaimana penyelesaiaan tindak pidana umum yang sistem penanganannya terpadu.

Kesamaan pola sytem terintegrasi dan dan sentra Gakkumdu tergambar dalam Nota Kesepakatan bersama antara Bawaslu, POLRI dan JAGUNG, yang membedakaan adalah sebelum pada tahapan penyidikan di kepolisian sentra gakkumdu melakukan Rapat koordinasi untuk menyamakan persepsi apakah laporan atau temuan memenuhi unsur tindak pidana atau belum. Biasanya pembahas sangat alot, masing-masing pihak mengeluarkan argumentasi terkait dengan subtansi dari penanganan tindak pidana pemilu. Dan seterusnya kalau terpenuhi unsur maka bisa saja diteruskan ke tahap penyidikan, tapi juga tidak jarang setelah pembahasan di sentra gakkumdu, semua pihak sepakat untuk diteruskan pada tahap penyidikan pihak penyidik menolak penerusan yang disampaikan pengawas pemilu dan/atau jaksa juga mengembalikan berkas setelah proses penyedikan rampung. Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai macam masalah dan problem penangan tindak pidana pemilihan di Sentra Gakkumdu.

Melihat ketidakharmonisan dalam pembahasan sentra gakkumdu, membuat 3 (tiga) institusi ini digandrungi masalah akut, yang bukan hanya berdampak pada status intitusional belaka tetapi justru melemahkan penegakan hukum pemilu yang mengikis kepercayaan publik terhadap kehadiran Sentra Gakkumdu, Seharusnya Sentra Gakkumdu mengembalikan semangat awal dari pembentukannya yaitu; pertama, Sentra gakkumdu adalah sebagai forum Koordinasi antara para pihak dalam proses penanganan tindak pidana Pemilu. Kedua, pelaksanaan pola penanganan sentra gakkumdu. Ketiga, sebgai pusat data dan informasi tindak pida pemilu. Keempat, pertukaran data dan informasi. Kelima, peningkatan kompetensi dalam penanganan dugaan tindak pidana pemilu, dan Keenam, pelaksanaan monitoring dan evaluasi tindak lanjut penanganan dugaan tindak pidana pemilu.

Penanganan tindak pidana pemilu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan dan standar Operasinal serta prosedur sentra penegakan hukum terpadu yang diawali dengan penerimaan laporan atau temuan pada pengawas pemilu yang diduga merupakan tindak pidana pemilu, kemudian pengawas pemilu menuangkan laporan tersebut dalam sebuah form, setelah laporan di-input kedalam sebuah form, Kemudian dilakukan pengkajian Awal laporan atau temuan tersebut. pengawas pemilu segera berkoordinasi dengan Sentra Gakkumdu dalam melakukan pengkajian awal guna mendapatkan masukan terkait dugaan tindak pidana pemilu.

Pengawas Pemilu menyampaikan laporan atau temuan kepada sentra gakkumdu dalam jangka waktu paling lama 1x24 jam (satu kali dua puluh empat jam) terhitung sejak diterimanya laporan atau temuan dugaan tindak pidana pemilu, kemudian pengawas pemilu menyampaikan laporan atau temuan kepada sentra gakumdu melalui sekretariat sentra gakkumdu dengan menggunakan surat penyampaian laporan/ Temuan dugaan tindak pidana pemilu (Model SG-1), penyampaiaan Model SG-1 dilampiri dengan laporan atau temuan dugaan tindak pidana pemilu, sekaligus sebagai undangan Rapat pembahasan Sentara Gakkumdu.

Dalam Pembahasan laporan atau temuan dugaan tindak pidana pemilu pada sentra gakkumdu pembahasan terkait dengan; pertama, apakah terpenuhi atau tidak syarat formil dan materil terhadap laporan atau temuan sesuai dengan Peraturan Bawaslu. Kedua, menentukan pasal yang di terapkan; dan Ketiga pemenuhan unsur-unsur tindak pidana pemilu. Pelaksanaan keseluruhan rapat pembahasan dicatat dan diarsipkan oleh staf sekretariat Gakkumdu dengan disimpulakan berdasarkan kesepakatan bersama dari seluruh unsur sentra Gakkumdu. Kesimpulan dari rapat sentra Gakkumdu dapat berupa (1) Laporan atau temuan bukan merupakandugaan tindak pidana pemilu, (2) Laporan atau temuan merupakan dugaan tindak pidana pemilu, namun perlu dilengkapi dengan syarat formil dan/atau syarat materil, atau (3) laporan atau temuan merupakan dugaan tindak pidana Pemilu. Kemudian ditindaklanjuti dengan penyampaaian rekomendasi yang dituangkan dalam model SG-3, dan rekomendasi tersebut wajib dipertimbangkan oleh pengawas pemilu dalam jangka waktu 1x24 jam (satu kali dua puluh empat jam) terhitung sejak diterimanya laporan atau temuan oleh staf sekretariat sentra Gakkumdu. Begitulah singkatnya pola penanganan tindak pidana pemilu dalam Sentra penegakan Hukum terpadu (sentra Gakkumdu).

Atas berbagai macam problem penanganan tindak pidana pemilu dalam sentra gakkumdu, maka ke depan perlu adanya upaya untuk menanggulangi hambatan-hambatan yang timbul. Upaya ini dimaksudkan agar proses penyelesaiaan perkara pidana pemilu dapat berjalan seperti yang diharapkan, yang pada akhirnya dapat terwujud asas peradilan yang cepat, jujur, bebas, sederhana, dan berbiaya ringan. Upaya yang dilakukan adalah: Pertama, melakukan Perbaikan dalam hal sistem dan mekanisme bersentra gakkumdu, polisi dan jaksa juga merupakan bagian dari satu kesatuan fungsi untuk menyelesaikan tindak pidana pemilihan, diharapkan kedepan pola hubungan kerjanya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tergambar seperti KPK (miniatur KPK) , sehingga mulai dari awal penyelesaian aparat penegak hukum seperti jaksa dan polisi sudah terlibat. Kedua; Kerja sama positif antara aparat penegak hukum, adanya keterbukaan, kebersamaan konsultasi dan keterpaduan adalah sesuatu yang sangat mutlak diperlukan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan tugas. Ketiga; Meningkatkan disiplin, kapasitas dan integritas aparat penegak hukum.

Demikian, jayalah Gakkumdu.

Kasus Pidana pemilu yang terjadi di Kalimantan Selatan

Dalam Proses penangan pidana dikalimantan selatan ada dua perkara pidana menggunakan pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP yang biasanya juga lazim digunakan dalam penanganan suatu tindak pidana yang tearjadi melibatkan lebih dari satu orang yaitu penyelesaiaan perkara pidana di Banjarbaru (namun tidak lazim pasal tersebut digunakan dalam penyelesaiaan kasus pidana di Sentra gakkumdu) namun karena ketiadaan subjek dari unsur ketentuan pidana dalam Undang-undang 7 tahun 2017, maka bawaslu bersepakat menggunakan penerapan pasal 55 KUHP dalam penaganan pidana pemilu. Baru kali ini ada terobosan hukum yang terjadi dalam Sentara gakkumdu Kalimantan Selatan, karena sentra gakkumdu berkeinginan adanya kehadiran hukum yang progresif yang mampu memenuhi kebutuhan bangsa dan ikut merasakan penderitaan bangsanya. Dengan demikian, hukum akan melayani kepentingan rakyatnya, bukan sebaliknya, bahwa hukum tidak berada di awang-awang atau ruang hampa, tetapi ada di dalam masyarakatnya.

Dalam teorinya peruatannya di sebut sebagai deelmening (penyertaan) dengan kesimpulan bahwa adanya suatu kerjasama kolektif dalam suatu peristiwa pidana, bahwa perbuatan seorang pelaku tidak akan sempurna tanpa adanya perbuatan/atau campur tangan pelaku yang menyertainya. Memahami konsep teoritik deelneming (penyertaan) tersebut, maka dalam konteks pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jelas terlihat suatu penyertaan yang tersusun, yakni : 1. Yang melakukan; 2. Yang menyuruh melakukan; 3. Yang turut serta melakukan; dan 4. Yang sengaja melakukan.

Penanganan kasus Pemilu di Banjarbaru

Pada tanggal 15 November 2018, telah ditemukan informasi mengenai metode kampanye yaitu pembagian bahan kampanye berupa kalender yang berisikan lambang dan nomor urut Partai Golongan Karya serta foto atau gambar diri Caleg DPRD Kota Banjarbaru Dapil 4 Kecamatan Landasan Ulin atas nama RH yang Terpasang di Rumah siswi kelas IV SDN 2 Guntung manggis atas Nama GM. Kalender tersebut dibagikan di Sekolah SDN 2 Guntung Manggis oleh Salah satu Guru dan didapatkan dari Kepala Sekolah SDN 2 Guntung Manggis atas Nama Ndn.

Bahwa Hasil Pengawasan tesebut dianggap sebagai informasi awal untuk kemudian Bawaslu Kota Banjarbaru menindaklanjuti dengan melakukan penelusuran dan investigasi serta klarifikasi terhadap pihak-pihak yang terlibat untuk membuat terang peristiwa/ kejadian. Berdasarkan hasil investigasi dan klarifikasi kepada RH (Caleg) dan Ndn (Kepala Sekolah) diperoleh keterangan bahwa peristiwa/ kejadian dugaan pelanggaran tersebut terjadi pada hari Senin, tanggal 29 Oktober 2018 sekitar pukul 07.00 Wita RH datang ke rumah kediaman Ndn yang beralamat di Komplek Taman Citra Trikora landasan Ulin, Kota Banjar Baru. Kemudian RH menyerahkan atau memberikan sebanyak 200 lembar kalender kepada Ndn diikuti dengan permintaan “tolong dibagikan ke siswa sehabis pulang sekolah”. Selanjutnya tepat pukul 07.30 wita Ndn membawa kelender tersebut ke sekolah, yang dibagikan oleh para wali kelas dan guru-guru pengajar lainnya.

Bahwa berdasarkan kajian Bawaslu Banjarbaru dan dibantu oleh Sentra Gakumdu maka hal tersebut dapat diduga telah melanggar ketentuan sebagai berikut:

  1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu pasal 280 bahwa (1) Pelaksana, peserta dan Tim Kampanye dilarang sebagaimana huruf (h) menggunakan fasilitas Pemerintah, tempat Ibadah, dan tempat Pendidikan;
  2. Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan sebagaimana huruf (f) Aparatur Sipil Negara.
    Pasal 493 Setiap Pelaksana dan/atau Tim Kampanye yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun denda paling banyak Rp.12.000.000.- (dua belas juta rupiah);
  3. Pasal 494 Setiap Aparatur Sipil Negara, anggota TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Desa, dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12.000.000.- (dua belas juta rupiah);
  4. Pasal 521 Setiap Pelaksana, peserta, dan/atau Tim Kampnye Pemilu yang dengan sengaja. Melanggar larangan pelaksana Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dala pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, guruf f, huruf g, huruf g, huruf I atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000,- (dua puluh empat juta);
  5. Perbawaslu Nomor 28 tahun 2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilihan Umum. Pasal 6 Bahwa Bawaslu melakukan pengawasan pelaksanaan kampanye pemilu yang meliputi sebagaimana huruf (h) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat Ibadah, dan tempat Pendidikan. Dan huruf (f) Pegawai Negeri Sipil, Pegawai Pemerintah dengan perjanjian Kerja dan Pegawai Honorer; dan
  6. Perbawaslu Nomor 28 tahun 2018 tentang Pengawasan Pemilu. Pasal 19 bahwa Pengawas Pemilu melakukan pengawasan metode kampnye yang dilakukan oleh peserta pemilu terdiri atas penyebaran bahan kampanye dan bahan kampanye tersebut dilarang disebarkan atau ditempelkan di tempat Pendidikan.

Bahwa sebagaimana hasil temuan diatas maka pasal 521 Undang-undang 7 tahun 2017 Pasal 521 Setiap Pelaksana, peserta, dan/atau Tim Kampnye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksana Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, guruf f, huruf g, huruf g, huruf I atau huruf j dipida dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000,- (dua puluh empat juta).

Bahwa pasal 521 tersebut tidak dapat diterapkan untuk subjek ASN karena pasal 521 hanya membatasi pada subjek pelaksana, peserta, dan /atau Tim Kampanye sehingga dalam proses penagaan pelanggaran selanjut digunakanlah pasal 55 KUHP untuk menjerat Ndn, karena Ndn lah yang melakukan perbuatan penyebaran bahan kampanye di sekolah setelah RH minta bantuan kepada Ndn dirumahnya, maka perbuatan penyebaran kampanye tersebut sudah selesai dan sempurna dilakukan oleh Ndn.

Bahwa ahli menyatakan dalam Rumusan pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP berbunyi : (1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana: 1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu. Penyertaan (deelmening) adalah apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari seorang pelaku, sehingga harus dicari pertanggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam peristiwa tersebut. Hubungan antara peserta tersebut, adalah : a. Bersama-sama melakukan kejahatan; b. seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut; dan c. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.

Bahwa masih menurut ahli Perbedaan antara para pembuat dengan pemuat pembantu adalah para pembuat (mededader) secara langsung turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana, sedangkan pembuat pembantu hanya memberi bantuan yang sedikit atau banyak manfaat dalam melaksanakan tindak pidana. Pembuat yang dimaksud dalam pasal 55 ayat (1) adalah ia tidak melakukan tindak pidana secara pribadi, melainkan secara Bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana. Apabila dilihat dari perbuatan masing-masing peserta berdiri sendiri, tetatpi hanya hanya memenuhi sebagian unsur tindak pidana. Dengan demikian semua unsur tindak pidana terpenuhi tidak oleh perbuatan satu peserta, tetapi oleh rangkaian semua peserta. Mereka yang melakukan (pembuat pelaksana: pleger) adalah orang yang melakukan sendiri suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik. Perbedaan dengan dader adalah pleger dalam melakukan tindak pidana masih diperlukan keterlibatan orang lain minimal 1 orang, misalnya pembuat peserta, pembuat pembantu, atau pembuat penganjur. Dalam tindak pidana formil plegernya adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan. Dalam tindak pidana materil, plegernya adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-undang.

Unsur “orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuaran” bahwa unsur ini bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu dari keseluruhan dalam unsur ini dapat dubuktikan maka keseluruhan unsur terbukti.

Bahwa yang dimaskud dalam pasal ini adalah seseorang yang dianggap ikut serta, menyuruh suatu perbuatan pidana, atau orang yang melakukan suatu perbuatan pidana dan dapat diartikan secara sempit bahwa perbuatan yang timbul dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) orang. Deelmening (penyertaan) dala Peristiwa Pidana: Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP yang lazim digunakan dalam penaganan sutu tindak yang terjadi melibatkan lebih sari satu orang pelaku.

Berdasarkan penjelasan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam Buku uang berjudul Hukum Pidana Indonesia oleh Drs. P.A.F. Laminating, SH dan C. Djisman, SH pada halaman 54 menyebutkan “bahwa orang lain yang turut serta melakukan kejahatan itu dapat dianggap sebagai pelaku, maka itu dapat terjadi “medeplegen” atau turut serta melakukan.

Bahwa di dalam Hukum Pidana ada beberapa kreteria yang harus dipenuhi dalam pengertian turut melakukan dalam arti kata Bersama-sama melakukan, yaitu:

  1. Perbuatan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih;
  2. Adanya kerja sama secara fisik; dan
  3. Adanya kesadaran sewaktu melakukan kerjasama.

Bahwa surat dakwaan yang duajukan penuntut Umum terhadap terdak urdin, S.Pd.I bin Sani sebagai pegawai negeri Sipil (Kepala Sekoilah SDN 2 Guntung Manggis) selaku Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP adalah untuk mempertegas bahwa terdakwa dalam melakukan perbuatan tersebut tidak secara sendiri atau dengan kalimat lain bahwa terdakwa melakukan pebuatan tersebut Bersama dengan orang lain yaitu Bersama dengan saksi RIjali Hadi bin Achmad Darmawi selaku calon tetap Anggota Dewan Perwakilan rakyat Daerah Kota Banjarbaru Pemihan Umum 2019 mor urut 7 (tujuh) pada partai Golkar yang perkaranya dulakuyka penuntutan secara terpisah.

Bahwa penyusunan alternatif kualifikasi terdakwa sebagai yang melakukan (pleger), atau turut serta melakukan (mede pleger), atau menyuruh melakukan (doen pleger) dengan penyusunan secara alternatif terhadap kualifikasi terhadap kualifikasi perbuatan terdakwa tersebut tidaklah membuat kejelasan tindak pidana yang didakwakan dalam surat mengingat ketentuan pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP yang di junctokan tersebut bukanlah menjadi salah satu unsur inti delik (bestandeel delict) yang didakwakan terhadap terdakwa.

Bahwa menurut memorie Van Toelichting bahwa ada orang yang turut serta melakukan perbuatan pidana apabila ia langsung ikut seta dalam permulaan pelaksanaan, tetapi janganlah diartikan dalam hal turut serta melakukan itu tiap-tiap perbuatan peserta harus melakukan perbuatan-perbuatan pelaksanaan. Yang utama adalah dalam pelaksanaan perbuatan itu ada kerjasama yang diantara mereka itu, jadi untuk menentukan adanya turut serta.

Orang yang telah melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan atau turut serta melakukan perbuatan sebagai pelaksana, peserta, dan/ atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat (1) huruf h (menggunakan fasilitas pemerintahan, tempat Pendidikan).

Kesimpulan dan Rekomendasi

A. Kesimpulan

  1. Bahwa Pengawasan pemilu merupakan kegiatan mengamati, mengkaji, memeriksa, dan menilai proses penyelenggaraan pemilu sesuai peraturan perundang-undangan;
  2. Dalam penangan tindak pidana pemilu, sentra Penegakan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu) sebenarnya sudah memakai sistem terintegrasi yaitu sistem peradilan pidana (integrated Criminal Justice system). Namun dalam pelaksanaannya belum maksimal dan masih banyak perbedaan pandangan dan pemahaman terkait dengan standar operasional Sentra gakkumdu; dan
  3. Bahwa Penerapan Pasal 55 KUHP adalah merupan terobosan hukum yang dapat diterapkan oleh Pengawas Pemilu, Penyidik dan penuntut dalam menangani tindak pidana pemilu apabila ketiadaan subjek dalam ketentuan pidana Pemilu

B. Rekomendasi

  1. Bahwa untuk adanya kepastian hukum dalam penanganan tindak pidana pemilu penting kiranya penerapan Pasal 477 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 secara komprehensif bahwa Penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana pemilu dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Pasal tersebut telah menegaskan bahwa penanganan tindak pidana pemilu diselasaikan menurut KUHAP karena proses penyelidikan adalah merupakan proses penagananan pelanggaran dengan waktu yang tidak dapat dipisahkan antara penyelidikan dilakukan oleh Penyisik POLRI dan pengkajian/klarifikasi dilakukan oleh Sentra Gakkumdu;
  2. Bahwa sebagaimana angka 1 dalam Rekomendasi ini tidak hanya KUHAP yang dapat diterapkan dalam penanganan tindak Pidana pemilu namun juga Kitab undang- undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diterapkan dalam mengisi kekosongan Hukum penanganan tindak Pidana Pemilu; dan
  3. Bahwa untuk menghindari intervensi dalam penaganan kasus penting kiranya dalam menerapkan secara utuh Pasal 486 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 bahwa penyidik dan penuntut menjalankan tugas secara penuh waktu dalam penanganan tindak pidana pemilu agar sistem yang terintegrasi dalam penanganan tindak pidana pemilu dapat tercapai.

Bahan Bacaan

  1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang pemilihan Umum
  2. Kumpulan Kitab Undang-undang Hukum KUH Perdata, KUHP, KUHAP. Wacana Intelektual
  3. Berkas Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu Badan Pengawas Pemilu Kota Banjar Baru
  4. Dasar-dasar Ilmu Politik Oleh Prof. Miriam Budiardjo
  5. Hukum Progresif Pemikiran Satjipto Raharjo dalam Perspektif Teori Maslahah oleh Abu Rokhmad
  6. Menyelami Semangat Hukum Progresif ; Terapi Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia Oleh Mahmud Kusuma
  7. Hapusnya Hak menuntut dan menjalankan Pidana oleh Alfitra, SH,MH.
  8. Politik Hukum Oleh. DR. H. Ahmad Muliadi, S.H., M.H.
  9. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara oleh Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, SH.